Kisah nyata ini saya tulis untuk dapat berbagi ilmu pengetahuan
tentang Lomba Balap Sepeda dan seluk beluknya, selain itu juga untuk mengenang
masa remaja dimana hobi ini dilakukan setiap hari.
Saya besar di daerah kecamatan Ngemplak kabupaten Boyolali, tepatnya
disamping bandara Adi Sumarmo Solo (sekarang masuk Boyolali). Daerah ini
(bandara Adi Sumarmo) dikenal dengan kata lain Panasan. Panasan adalah nama kampung
tempat dibangunnya lapangan terbang itu.
Di Karesidenan Surakarta ( Kota Surakarta, Kab. Boyolali, Kab.
Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab Sragen, dan Kab. Klaten) seringkali diadakan
Lomba Balap Sepeda di lapangan hijau (Lapangan Sepak Bola. Biasanya dalam lomba
seperti ini lapangan ditutupi anyaman bamboo (Bhs Jawa: gedhek).. Sehingga
penonton kalau mau melihat Lomba Balap Sepeda harus membayar tiket lebih dulu.
Dan Lomba balap sepeda dimulai hari Jumat sore, kemudian Sabtu sore, baru
Minggu pagi seharian. Biasanya Lomba dilakukan dengan heat (babak) penyisihan,
perdelapan final, semi final, hingga
final terakhir. Sudah menjadi kebiasaan di beberapa daerah kalau final biasanya
hanya sekitar dua belas (12) pembalap saja. Kemudian pembalap mengitari
beberapa putaran. Kalau final terkhir sekitar dua puluh (20) sampai duapuluh
lima (25) putaran, masing – masing daerah berbeda Sedangkan sepeda yang dipakai
adalah sepeda balap hanya banya diganti ukuran banya 26”. Mengingat dilapangan
hijau sangat cocok dengan ban ini. Ban ini biasanya sejenis ukuran dengan ban sepeda
Jengki. Para pembalap tidak memakai ban sepeda roadbike mengingat kurang nyaman
di lapangan hijau. Dan berikut ini
adalah raja-raja (yang sering juara dilapangan hijau).
1.
Martopo nama dalam lomba (ODOK)
dari Dibal Panasan
2.
------- nama dalam lomba (Kebo)
dari Panasan
3.
Witoro dari Panasan.
4.
Manjibo dari Klaten
5.
Didik Dwi Admojo dari Surakarta
tahun
6.
Erik dari Surakarta
7.
Totok dari Sukohardjo tahun.
8.
Joko Tanyono Surakarta.
9.
Toni Sartono dari Klaten.
10.
Wibowo dari Panasan.
11.
Gundik dari Karanganyar.
12.
Sarjuni Panasan.
Maaf sobat semua apabila salah menyebutkan nama, inilah setelah tiga
puluh lima (35) tahun dikenang.
Dan masih banyak lagi pembalap yang menjadi sahabat saya lapangan
hijau yang tidak dapat saya sebut satu persatu mengingat banyaknya, mengingat
perlombaan balap sepeda dilapangan hijau sering kali diselenggarakan di sekitar
enam (6) kabupaten tersebut. Bahkan malah lomba balap sepeda dilaksanakan dalam
waktu bersamaan di dua tempat.
Serunya apabila Lomba balap sepeda dilaksanakan di satu tempat yang
lapangannya dalam kondisi mulus halus sehingga sepeda bisa dipacu lari
maksimal. Perkiraan penulis pada saat final terakhir pada putaran terakhir
(menjelang Finish) sepeda bisa lari hingga 42 Km/jam di lapangan hijau
(berumput).
Berikut saya ceritakan Lomba balap sepeda yang cukup berkesan di
dalam diri saya:
Hari Jumat penyisihan saya juara satu
Hari Sabtu masih penyisihan saya menempatkan diri juara satu. Hari jumat
dan Sabtu biasanya saya pakai mengukur seberapa kekuatan dan kecepatan lawan
yang dalam satu heat (babak)
Minggu pagi sekitar jam 02:00 saya bangun untuk makan agar besuk
pagi bisa mempunyai tenaga cadangan. Perlu diingat bahwa balap sepeda termasuk
olahraga berat. Jam 02:00 saya sholat tahujud, kemudian makan. Makan malam
menjelang final saya lakukan atas anjuran salah seorang dokter yang masih
kerabat saya. Kurang lebih 30 menit kemudian saya tidur lagi memang sengaja dua
kegiatan itu saya lakukan dengan singkat agar tidak menggangu istirahat. Namun
pagi hari sekitar jam 05:00 saya kaget karena saya mimpi basah. Saya takut
sekali karena baru pertama kali ini mau final kok mimpi basah, takut lemes
…tidak punya tenaga.
Singkat cerita Minggu masih dilangsungkan penyisihan hingga final
terakhir, jadi pasti menguras tenaga. Pada saat heat (babak) pertama dihari Minggu saya memposisikan diri di urutan
tiga (3) yang penting masuk ke babak berikutnya. Apalagi dalam lomba seperti
ini dilihat sekitar empat ribu (4000) penonton. Lomba yang saya ceritakan ini
dilaksanakan di lapangan Hijau Donohudan, Kec. Ngemplak kabupaten Boyolali. Dilapangan
ini bagus sekali kering rata, mulus, dan sepeda enak dipacu hingga lari
kencang. Apalagi ditambah penonton yang meledak membanjiri lapangan yang teduh.
Tiba pada Final terakhir. Saya termasuk diantara dua belas orang
pembalap.
Lepas dari garis start semua pembalap memacu sepedanya
perlahan-lahan mengingat putaran yang ditempuh cukup banyak 20 putran
dilapangan hijau. Genjotan menjadi berat kalau dibandingkan dengan di jalan
raya (aspal).
Putaran kedua masih lambat tapi terasa sudah mulai naik kecepatanya.
Semua pembalap masih dalam satu kelompok, bergerombol (pleton). Putaran ketiga
semakin tambah kecepatan apalagi MC memanas-manasi dengan komentarnya,
Kata MC. “Mari kita beri tepuk tangan yang meriah untuk memberikan
semangat para pembalap…” langsung saja penonton bertepuk tangan meriah sekali
!!!!!
Sekitar empat ribu (4000) penonton bertepuk tangan dalam satu
lapangan hijau, tepuk tangan berkisar sepuluh (10) detik kemudain berhenti tepuk
tangannya. Apabila MC memandu komentar dan ada aba-aba dari MC tepuk tangan
maka penontonpun terbawa suasana dan tepuk tangan lagi. Komentar MC dan Tepuk
tangan penonton, membuat hatiku gemetaran. Ingin rasanya lari sesegera mungkin
tapi saya sangsi mampukah saya lari sendirian. Kalau saya melaukan break way (melepaskan diri dari
rombongan) pasti akan ditangkap rombongan dan kehabisan tenaga. Strategi saya
akan mengadu sprint dengan Joko Tanyono yang juara tiga (3) di Sea Game Manila.
Putaran kelima, saya sudah merasakan
kecepatan 75 % kemampuan saya. Pembalap masih bergerombol. Saya dalam posisi
ditengah, didepan ada Tony dari Klaten, diikuti Salamun dari Panasan dan saya (Wibowo)
di posisi ketiga (3). Ibarat burung yang
sedang terbang, Tony paling depan adalah paruhnya, Salamun adalah hidungnya
(lobang), dan saya di posisi mata burung. Dibelakang saya posisi seperti apa
saya tidak tahu, dan itu tidak penting untuk sebuah strategi bagi saya. Saya
harus tahu siapa yang didepan dan posisi saya harus bebas kapan saja saya
melakukan break way. Itu saja yang sangat penting, jangan terulang
lagi ketika saya main di Karanganyar dua minggu lalu saya dalam keadaan
terkunci di tengah pleton, saya masih punya tenaga untuk sprint tapi saya
terkurung jadi tidak bisa maju. Hingga akhirnya masuk finis bergerombol. Dan
saya ditengah jadi hanya menduduki nomor sekian.
Memasuki putaran sepuluh tepuk tangan penonton semakin bergemuruh,
penontonpun pasti tegang juga melihat dua belas (12) pembalap masih dalam
rombongan dengan jarak antar pembalap yang sangat dekat. Apalagi yang bertaruh
pasti gemeteran alias jantung berdetak kencang. Biasa dalam Lomba seperti ini
ada yang berjudi. Bahkan saya pernah mendapat hadiah dari seseorang yang mengaku baru menang berjudi
menebak saya menang.
Saya dalam posisi di urutan ke empat, posisi ketiga diambil pembalap
lain. Saya sangat tenang karena tahu yang memimpin rombongan (pleton) adalah
Tony dari Klaten, diikuti Salamun, dan didepan saya pas adalah pembalap yang
belum begitu berkualitas mengingat belum pernah juara. Tony Sartono dari Klaten
adalah pembalap roadbike (Road race) cukup disegani juga. Ketika
mengikuti Tour de Jawa (Jakarta – Surabaya) Sauadaraku ini menempatkan diri di
psosisi 10 besar etape I hingga etape III.
Konsentrasi dan kehati-hatianku dalam kondisi 100% siaga. Saya
memutuskan untuk mengambil posisi yang sangat aman yaitu posisi satu atau dua.
Akhirnya saya ambil posisi urutan ke dua, jadi ada dua pembalap yang saya
lewati. Momen ini langsung dimanfaatkan MC, memberikan komentar ….”yaahhh
nampaknya Wibowo jago kita dari Panasan, sudah mulai ancang-ancang, pemuda yang
masih belasan tahun sudah mampu bersaing dengan pembalap-pembalap Kaliber, dan
nampaknya Wibowo masih enak menggenjot pedalnya. Muda-mudahan Wibowo bisa
menjuarai kali ini, otomatis disambut tepuk tangan penonton sangat bergemuruh
sekali. Membuat hati saya terbakar ingin segera menyelesaikan pertarungan
(Lomba) ini. Salamun mengambil dari sayap kanan dekat dengan penonton, saya
tempel ketat lari kedepan. Sekarang paling depan Salamun dan posisi ke dua
saya. Kemudian saya mencoba menyerang dari sayap kanan mepet dengan penonton,
hampir saja kena payung penonton. Tapi serangan saya ini hanya untuk
meningkatkan kecepatan sedikit saja, saya tidak berusaha merebut posisi dari
Salamun. Saya rasa posisi saya sudah pas sekali. Ketika saya menyerang dari
arah sayap kanan saudara Salamun tahu dan langsung menembah kecepatan. Jadi
Salamun masih diposisi pertama, kemudaian sepeda saya arahkan kekiri tepat
menempel ban belakang Salamun, jarak ban belakang Salamun dengan ban depan saya
sekitar 10 Cm saja, agak kekanan 5 Cm, jadi tidak dibelakang persis.
Saya masih bisa mendengar kalimat MC, dan bisa mendengar tepuk
tangan yang berkali-kali. Tapi saya fokus bagaimana, kapan, dimana saya akan melepaskan
diri dari rombongan. Keluarnya udara dari hidung dan mulutku semakin cepat,
tapi belum ngos-ngosan. Pernafasanku masih dalam kendali yang baik. Saya tidak
melihat Joko Tanyono, Paryoko, Toni dll, semuanya dibelakang saya jaraknya
cukup dekat, semua pembalap dalam satu rombongan (pleton). Dalam pikiran saya
hanya ada “kapan saya akan break way”.
Angka Lima ditunjukkan berarti tinggal lima putaran lagi. Sekarang
saya harus ambil posisi pertama agar nanti gampang sprintnya kata hati saya,
tapi gruduk-gruduk … suara beberapa ban sepeda dibelakang saya maju dan tiga
pembalap sudah didepan saya berdampingan (baris bersaf) seperti mau sprint,
saya diposisi saf kedua dikiri saya ada pembalap disamping kanan saya ada
pembalap dan di belakang saya menempel juga beberapa pembalap. Tepuk tangan
penonton sangat meriah, mungkin dikiranya pembalap mulai saling berebut tempat
pertama.
Aduhhhhh … bahaya ini (kata hatiku)…
Kalau tidak cepat saya rubah posisi saya akan terkunci lagi. Kasus
di Lapangan Papahan, Karanganyar bisa terulang lagi.
Kutambah kecepatan hingga ban depan
hampir nempel ban pembalap depan saya, kutekuk (belokkan) kekiri sehingga
pembalap yang berada dikiri saya kepepet sehingga dia mundur, karena kalau
tidak mundur akan kejepit antara saya dan sebelah kiri dengan pembatas lintasan.
Agak aman sekarang posisi kedua dari depan di sebelah kiri, dua
pembalap dikanan saya. Tiga pembalap didepan saya.
Kecepatan sudah mulai sampai 80% kemampuan saya. Pembalap masih
bergerombol.
MC, tak henti-hentinya dengan kalimat yang membakar…
Apalagi ini adalah detik-detik semua pembalap akan mengerahkan semua
kemampuanya untuk mencapai garis finis. Dan menjadi Juara, The Winner.
Penonton bertepuk tangan semua…
Yang saya lihat tangan penonton bertepuk tangan, saya merinding
ingin lari …. Break way.
Juara satu menjadi target dan harga diri.
Kalau juara akan punya reputasi
Kalau Juara akan lebih dikenal orang banyak.
Dan sang Juara dikenang orang banyak !.
Itu adalah beberapa kata-kata yang selalu membakar diri saya, hingga
tetap dalam spirit tinggi baik dalam latihan maupun perlombaan (pertarungan).
Untuk meraih juara tidak bisa mengandalkan hanya pada kekuatan saja.
Untuk meraih juara tidak bisa mengandalkan hanya pada sprint saja.
Untuk meraih juara tidak bisa mengandalkan hanya pada daya tahan
saja.
Untuk meraih juara tidak bisa mengandalkan hanya pada power saja.
Semuanya diramu termasuk kesehatan badan, dan dijadikan satu senjata
untuk menyerang lawan hingga roda menggilas garis Finish.
100% saya konsentrasi ke depan dan lirik kanan …
Kurang tiga putaran (satu putaran kurang lebih 350 meter).
Gila kecepatan sudah diambang maksimal kemampuan saya. Kaki saya
masih bisa mengikuti putaran pedal dengan baik.
Tepat kurang satu setengah putaran inilah saat yang tepat kata
hatiku, tidak saya duga pembalap yang didepan saya bergerak kekanan sedikit
memepet pembalap yang disebelah kanannya, hal ini justru membuka jalan bagi
saya, langsung saja saya ledakkan kaki untuk menginjak pedal, tiga pijakan saya
sudah posisi didepan sendiri dan tinggal satu putaran. Masuk tikungan dan
langsung saya ledakkan otot paha saya, habiskan tenaga untuk memacu semaksimal
mungkin. Saya tidak mendengar apa-apa yang saya lihat adalah jalan didepan
saya, tenaga saya peras habis …ya habis-habisan, hingga otot rectus femoris (otot paha depan) terasa
sakit. Saya lari sendirian.
Jarak pembalap dibelakang
saya sekitar 10 meter ada beberapa pembalap saya lihat ketika melewati tikungan
kekiri sambil menoleh kekiri. Konsentrasi saya terfokus pada telapak kaki, saya
injak agar segera sampai finish. Badan saya bungkukkan agar terpaan angin
berkurang, konsentrasi tetap focus di kedua telapak kaki bergantian ….
Dan saya kaget duapuluh (20) meter menjelang garis finish Joko
Tanyono (peraih perunggu Sea Game) yang belum lama pulang dari Sea Game, dalam
posisi disamping kiri saya mau melewati saya. Saya injak pedal sekuat
tenaga!!!!
Gleg roda ban masuk Finish …
Joko Tanyono masuk duluan, ban belakangnya sejajar dengan ban depan
saya, Wheel to wheel.
Baik saya masih mengakui kehebatan beliau, apalagi senior saya. Duaratus
(200) meter setelah finish saya berhenti dan dikerubuti banyak orang, disalami
dan ada yang mencium saya. Begitu Juga saudara Tony dari Klaten mendatangi saya
serta memberikan ucapan selamat …
Sambil mengatakan Hebat… sambil mengacungkan jempol kanannya.
Mas Didik Dwiatmojo pembalap senior yang saat itu tidak ikut
…berkata “ sudah posisi seperti itu kok kalah, kamu geser kekiri sedikit menang
…!!!”
Cerita akan saya lanjutkan dilapangan lain ketika saya bisa membalas
kekekalahan disini, tapi
...
Salam Pedal ….
Wibowo